Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Materi Filsafat Hukum I

Filsafat dan Filsafat Hukum

Filsafat ― yang bisa dianggap terjemahan dari kata ‘philosophie’― dapat dimaknai sebagai, a.l. :
-cinta kepada ilmu,
-suka kepada kebijaksanaan atau teman kebijaksanaan,
-cinta akan kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan hidup.

Pada tataran teknis, Filsafat lebih diartikan sebagai :
-cinta akan kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional.

Filsafat juga dapat dipahami sebagai :usaha untuk memperoleh [ilmu] pengetahuan, semata-mata untuk kepentingan [ilmu] pengetahuan itu sendiri.

Filsafat juga senantiasa mengandung makna ‘penyelidikan’ di dalamnya; yakni ‘penyelidikan’ dalam rangka mencari tahu tentang sifat asli dari dunia, sifat yang sedalam-dalamnya dari dunia, serta sifat yang sebenarnya dari hidup itu sendiri.

Apa yang dipikirkan Filsafat adalah hidup sebagai keseluruhan pengalaman dan pengertian.  Karenanya, metoda yang khas bagi suatu pemikiran Filsafat ialah refleksi atas pengalaman-pengalaman dan pengertian-pengertian tentang sesuatu hal dalam cakrawala yang universal.  Oleh sebab sifatnya yang universal ini, obyek Filsafat mencakup segala hal yang yang dialami manusia.

Dalam hal ini, memikirkan sesuatu hal secara filsafati ialah mencari arti yang sebenarnya dari hal dimaksud dengan memandangnya dari cakrawala yang paling luas.
Ini artinya, secara sederhana sebenarnya bisa dikatakan bahwa ‘berfilsafat adalah berpikir’.
Namun demikian, tidak semua kegiatan ‘berpikir’ itu dapat dikatakan sebagai ‘berfilsafat’.
Hanya kegiatan ‘berpikir tentang hakikat segala sesuatu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan ‘mendalam’lah yang bisa disebut sebagai ‘berfilsafat’.


Filsafat Hukum
Keterkaitan antara Filsafat dan Filsafat Hukum di antaranya dapat dilihat pada salah satu klasifikasi yang membagi filsafat menjadi 3 (tiga) bidang, yakni Filsafat Sistematis, Filsafat Khusus, dan Filsafat Keilmuan.
Dalam hal ini Filsafat Hukum ―bersama, antara lain, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Pendidikan, Filsafat Politik, dan Filsafat Agama― termasuk ke dalam bidang Filsafat Khusus.
Klasifikasi yang lain membagi kecabangan Filsafat ke dalam 11 (sebelas) bidang, seperti misalnya Filsafat Politik, Filsafat Agama, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan, dan Filsafat Hukum.  Oleh karena hukum berkaitan dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia, dapat dimengerti jika klasifikasi yang lain lagi memasukkan Filsafat Hukum ke dalam apa yang disebut sebagai Filsafat Tingkah-laku atau Etika, yang adalah bagian dari Filsafat Manusia.
Demikianlah, Filsafat Hukum lebih dipahami sebagai bagian dari Filsafat, khususnya Filsafat Moral atau Etika, daripada bagian dari Ilmu Hukum.
Karena itu, Filsafat Hukum merupakan Filsafat tentang kesusilaan yang baik dan yang buruk.
Pada saat bersamaan, Filsafat Hukum adalah juga Filsafat mengenai keadilan sekaligus mengenai ketidak-adilan.
Ditinjau dari sudut mana-pun, keterkaitan antara Filsafat dan Filsafat Hukum sebagaimana direpresentasikan melalui klasifikasi di atas, memang nyata adanya.  Dalam hal ini, Filsafat Hukum lebih dipahami sebagai bagian dari Filsafat, daripada bagian dari Ilmu Hukum. Kajian ilmiah di bidang Filsafat Hukum oleh karena itu mengikuti kaidah yang berlaku di lingkungan Filsafat.

Filsafat pada dasarnya memiliki ciri khas, yakni hanya membahas permasalahan yang sifatnya umum. Mengikuti jalan pikiran yang sama, obyek pembahasan filsafat hukum dengan demikian adalah bagian yang paling umum dari hukum.  Ini berarti filsafat hukum bukan semata-mata mengenai hukum ‘ini’ atau hukum ‘itu’ ―misalnya saja hukum Belanda atau Hukum Romawi―, bukan pula tentang Hukum Pidana atau Hukum Perdata saja; melainkan berkenaan dengan hukum seluruhnya.

Kesimpulan-kesimpulan filsafat hukum dengan demikian berlaku umum bagi setiap hukum.
Dalam hal ini, apa yang berlaku bagi hukum dengan sendirinya berlaku pula bagi Hukum Belanda dan Hukum Romawi, atau bagi Hukum Pidana dan Hukum Perdata, atau bagi hukum apapun itu.

Secara sederhana kiranya dapat dikatakan bahwa Filsafat Hukum adalah cabang Filsafat, yakni Filsafat Tingkah Laku atau Etika, yang mempelajari ‘hakikat hukum’. Selain hakikat hukum, Filsafat Hukum juga mempermasalahkan alasan terdalam dari eksistensi hukum ―seperti misalnya tujuan, subyek, dan pembuatnya― serta sifat-sifat hukum itu sendiri.  Inti dari Filsafat Hukum terletak diantaranya pada pembahasan tentang berbagai aliran Filsafat Hukum.

Tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran dalam Filsafat Hukum pada dasarnya mencerminkan pergulatan pemikiran yang terus saja berkelanjutan dalam Bidang Hukum. Sementara pakar menyebut ‘aliran’ sebagai ‘madzab’Tiap-tiap aliran atau madzab Filsafat Hukum sebenarnya me-representasi-kan suatu basic belief atau world view tertentu.


Dengan mempelajari pokok-pokok aliran Filsafat Hukum, diharapkan dapat ditelusuri dinamika dari berbagai ragam pemikiran tentang hukum. Lain daripada itu, akan dapat pula terkuak kompleksitas hukum dengan beraneka sudut pandangnya. Dalam hal ini, masing-masing aliran Filsafat Hukum hadir dengan hakikat maupun tujuan hukum-nya sendiri-sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perjanjian Sewa Beli


Latar belakang timbulnya sewa beli pertama kali adalah untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyaknya permintaan untuk membeli barangnya, tetapi calon pembeli tidak mampu membayar harga barang secara tunai. Pihak penjual bersedia menerima harga barang itu dicicil atau diangsur tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya sebelum harga dibayar lunas tidak akan dijual lagi oleh si pembeli.

Disamping itu yang menjadi latar belakang lahirnya perjanjian sewa beli karena adanya azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1.         Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2.         Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
3.         Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.
4.         Menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Keberadaan azas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaan perjanjian sewa beli memberikan inspirasi bagi para pengusaha untuk mengembangkan bisnis dengan cara sewa beli, karena dengan menggunakan jual beli semata-mata maka barang dari pengusaha tidak akan laku, ini disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah dan tidak memiliki banyak uang kontan.
Para Sarjana memiliki pandangan yang berbeda mengenai pengertian perjanjian sewa beli, yang keseluruhannya dapat disimpulkan menjadi 3 macam definisi, yaitu:
1.         Definisi pertama yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli angsuran.
2.         Definisi kedua yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan sewa menyewa.
3.         Definisi ketiga yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli.
            Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980 tentang Perijinan Beli Sewa (hire purchase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (renting), disebutkan pengertian sewa beli. Sewa Beli adalah :“Jual Beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.”          
Definisi kedua, dapat diihat dari pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah: “Pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah harga yang sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi pemiliknya.”
Definisi ketiga berpendapat bahwa sewa beli merupakan campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Pandangan ini dikemukakan oleh Soebekti: “Sewa beli adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa menyewa.”
Dengan demikian, dari definisi yang dicantumkan oleh undang-undang dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa sewa beli sebagai gabungan antara sewa-menyewa dan jual beli. Apabila barang yang dijadikan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan, maka barang itu dapat ditarik oleh si penjual sewa, akan tetapi apabila barang itu angsurannya telah lunas, maka barang itu menjadi obyek jual beli. Oleh karena itu para pihak dapat mengurus balik nama dari obyek sewa beli tersebut.
Pengaturan sewa beli di Indonesia belum dituangkan dalam undang-undang, yang menajdi landasan hukum perjanjian sewa beli adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase, jual beli dengan angsuran dan sewa (renting)).
Menurut SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980, pasal  1 a sewa beli adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Subyek dalam perjanjian sewa beli ini adalah kreditur (penjual sewa) dan Debitur (Pembeli Sewa). Yang dapat bertindak sebagai penjual sewa beli adalah perusahaan yang menghasilkan barang sendiri atau usaha yang khusus bergerak dalam perjanjian sewa beli sedangkan debitur adalah orang yang membeli barang dalam system sewa beli.
Obyek dalam perjanjian sewa beli itu sendiri adalah kendaraan bermotor, radio, TV, tape recorder, mesin jahit, lemari es, AC, mesin cuci dan lain-lain.
Di dalam praktek bentuk perjanjian sewa beli ini dibuat dalam bentuk tertulis dan dibawah tangan, artinya perjanjian itu hanya ditandatangani oleh para pihak yang mengadakan perjanjian sewa beli ini, yang mana dibuat secara sepihak oleh penjual sewa, juga penentuan segala isi perjanjian tersebut adalah penjual sewa sedangkan pembeli sewa hanya diminta untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Biasanya pihak pembeli sewa tidak memiliki keberanian untuk mengubah isi dan persyaratan yang ditentukan oleh pembeli sewa karena posisi mereka berada pada pihak yang lemah dari aspek ekonomi. Mereka tidak memiliki uang kontan untuk membayarnya. Isi dan persyaratan perjanjian baru dipersoalkan oleh pembeli sewa pada saat ia tidak mampu membayar angsuran, bunga dan denda.
Kapan terjadinya perjanjian sewa beli ini tidak ditentukan dengan tegas. Namun apabila melihat dari pasal 1320 KUH Perdata, saat terjadinya perjanjian sewa beli ini adalah pada saat terjadinya persamaan kehendak antara penjual sewa dan pembeli sewa. Dari sisi perjanjian formal terjadinya perjanjian sewa beli adalah pada saat ditandatanganinya perjanjian sewa beli oleh para pihak.
Sejak terjadinya perjanjian tersebut maka timbulah hak dan kewajiban dari para pihak, hak penjual sewa adalah menerima uang pokok beserta angsuran setiap bulannya dari pembeli sewa sedangkan kewajiban penjual sewa adalah menyerahkan obyek sewa beli tersebut dan mengurus surat-surat yang berkaitan dengan obyek sewa tersebut. Hak pembeli sewa adalah menerima barang yang disewabelikan setelah pelunasan terakhir sedangkan kewajiban pembeli sewa adalah membayar uang pokok, uang angsuran setiap bulannya dan merawat barang yang disewabelikan tersebut. Berakhirnya perjanjian sewa beli ini adalah:
1.         Pembayaran terakhir telah lunas.
2.         Meninggalnya pembeli sewa namun tidak ada ahli waris yang melanjutkan.
3.         Pembeli sewa jatuh pailit, serta saat kendaraan ditarik.
4.         Dilakukan perampasan oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lain, hal ini terjadi karena pembeli sewa telah mengalihkan obyek sewa beli kepada pihak lain.
5.         Pihak kedua wanprestasi.
6.         Adanya putusan pengadilan 

Definisi kedua, dapat diihat dari pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah: “Pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah harga yang sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi pemiliknya.”
Definisi ketiga berpendapat bahwa sewa beli merupakan campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Pandangan ini dikemukakan oleh Soebekti: “Sewa beli adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa menyewa.”
Dengan demikian, dari definisi yang dicantumkan oleh undang-undang dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa sewa beli sebagai gabungan antara sewa-menyewa dan jual beli. Apabila barang yang dijadikan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan, maka barang itu dapat ditarik oleh si penjual sewa, akan tetapi apabila barang itu angsurannya telah lunas, maka barang itu menjadi obyek jual beli. Oleh karena itu para pihak dapat mengurus balik nama dari obyek sewa beli tersebut.
Pengaturan sewa beli di Indonesia belum dituangkan dalam undang-undang, yang menajdi landasan hukum perjanjian sewa beli adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase, jual beli dengan angsuran dan sewa (renting)).
Menurut SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980, pasal  1 a sewa beli adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Subyek dalam perjanjian sewa beli ini adalah kreditur (penjual sewa) dan Debitur (Pembeli Sewa). Yang dapat bertindak sebagai penjual sewa beli adalah perusahaan yang menghasilkan barang sendiri atau usaha yang khusus bergerak dalam perjanjian sewa beli sedangkan debitur adalah orang yang membeli barang dalam system sewa beli.
Obyek dalam perjanjian sewa beli itu sendiri adalah kendaraan bermotor, radio, TV, tape recorder, mesin jahit, lemari es, AC, mesin cuci dan lain-lain.
Di dalam praktek bentuk perjanjian sewa beli ini dibuat dalam bentuk tertulis dan dibawah tangan, artinya perjanjian itu hanya ditandatangani oleh para pihak yang mengadakan perjanjian sewa beli ini, yang mana dibuat secara sepihak oleh penjual sewa, juga penentuan segala isi perjanjian tersebut adalah penjual sewa sedangkan pembeli sewa hanya diminta untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Biasanya pihak pembeli sewa tidak memiliki keberanian untuk mengubah isi dan persyaratan yang ditentukan oleh pembeli sewa karena posisi mereka berada pada pihak yang lemah dari aspek ekonomi. Mereka tidak memiliki uang kontan untuk membayarnya. Isi dan persyaratan perjanjian baru dipersoalkan oleh pembeli sewa pada saat ia tidak mampu membayar angsuran, bunga dan denda.
Kapan terjadinya perjanjian sewa beli ini tidak ditentukan dengan tegas. Namun apabila melihat dari pasal 1320 KUH Perdata, saat terjadinya perjanjian sewa beli ini adalah pada saat terjadinya persamaan kehendak antara penjual sewa dan pembeli sewa. Dari sisi perjanjian formal terjadinya perjanjian sewa beli adalah pada saat ditandatanganinya perjanjian sewa beli oleh para pihak.
Sejak terjadinya perjanjian tersebut maka timbulah hak dan kewajiban dari para pihak, hak penjual sewa adalah menerima uang pokok beserta angsuran setiap bulannya dari pembeli sewa sedangkan kewajiban penjual sewa adalah menyerahkan obyek sewa beli tersebut dan mengurus surat-surat yang berkaitan dengan obyek sewa tersebut. Hak pembeli sewa adalah menerima barang yang disewabelikan setelah pelunasan terakhir sedangkan kewajiban pembeli sewa adalah membayar uang pokok, uang angsuran setiap bulannya dan merawat barang yang disewabelikan tersebut. Berakhirnya perjanjian sewa beli ini adalah:
1.         Pembayaran terakhir telah lunas.
2.         Meninggalnya pembeli sewa namun tidak ada ahli waris yang melanjutkan.
3.         Pembeli sewa jatuh pailit, serta saat kendaraan ditarik.
4.         Dilakukan perampasan oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lain, hal ini terjadi karena pembeli sewa telah mengalihkan obyek sewa beli kepada pihak lain.
5.         Pihak kedua wanprestasi.
6.         Adanya putusan pengadilan 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SOMASI


1.      Dasar Hukum dan Pengertian Somasi

Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling.  Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perdata.
Pengertian Somasi di dalam buku Salim H.S.,S.H.,M.S. adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
Somasi timbul disebabkan debitur tidak memenuhi prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi itu, yaitu :
1.     Debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel;
2.     Debitur  tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab tidak melaksanakan prestasi sama sekali karena prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau karena debitur terang-terangan menolak memberikan prestasi.
3.     Prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur setelah lewat waktu yang diperjanjikan.


 2.      Bentuk dan Isi Somasi
Bentuk somasi yang harus disampaikan kreditur kepada debitur adalah dalam bentuk surat perintah atau sebuah akta yang sejenis.
Yang berwenang mengeluarkan surat perintah itu adalah kreditur atau pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang adalah Juru sita, Badan Urusan piutang Negara, dan lain-lain.
Isi atau hal-hal yang harus dimuat dalam surat somasi, yaitu :
1.     Apa yang dituntut (pembayaran pokok kredit dan bunganya);
2.     Dasar tuntutan (perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur); dan
3.     Tanggal paling lambat untuk melakukan pembayaran angsuran, pada tanggal 15 juli 2002.


 3.      Peristiwa-Peristiwa yang tidak Memerlukan Somasi
Ada lima macam peristiwa yang tidak mensyaratkan pernyataan lalai, sebagaimana dikemukakan berikut ini (Niewenhuis, 1988).
a. Debitur menolak Pemenuhan.
Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkan suatu perubahan (HR 1-2-1957).
b. Debitur mengakui kelalaiannya.
Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akan tetapi juga secara implicit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.
c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan barang yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah. Tidak perlunya pernyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi untuk pemenuhan prestasi).
d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)
Tidak diperlukannya somasi, apabila kewajiban debitur untuk memberikan atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakuakn dalam batas waktu tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang tersebut setelah perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya lagi.
e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.

Kelima cara itu tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur . debitur dapat langsung dinyatakan wanprestasi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PENGERTIAN, SYARAT SAHNYA, DAN ASAS-ASAS DALAM KONTRAK


1.      Pengertian Kontrak 

Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hokum yang disebut perikatan (verbintenis).



 2.      Syarat Sahnya Kontrak
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata Kontrak adalah sah bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat Subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi :
1.     Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan);
2.     Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat Objekif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hokum, meliputi :
1.     Suatu hal (objek) tertentu;
2.     Sesuatu sebab yang halal (kuasa).



 3.      Asas dalam Berkontrak
Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut jelas sangat jelas terkandung asas :
1.     Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi juka telah consensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
2.     Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk  mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya;
3.     Pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang bagi pihak yang membuatnya (mengikat).
Di samping itu, beberapa asas lain dalam standar kontrak :
1.     Asas Kepercayaan
2.     Asas Persamaan Hak
3.     Asas Moral
4.     Asas Keseimbangan
5.     Asas Moral
6.     Asas Kepatutan
7.     Asas Kebiasaan
8.     Asas Kepastian Hukum



 4.      Asas dalam Berkontrak
Mengenai sumber hukum kontrak yang bersumber dari undang-undang dijelaskan :
1. Persetujuan para pihak (kontrak);
2. Undang-undang, selanjutnya yang lahir dari UU ini dapat dibagi :
Undang-undang saja
UU karena suatu perbuatan, selanjutnya yang lahir dari UU karena suatu perbuatan dapat dibagi :
3. Yang dibolehkan (zaakwaarnaming);
4. Yang berlawanan dengan hukum, misalnya seorang karyawan yang membocorkan rahasia perusahaan, meskipun dalam kontrak kerja tidak disebutkan, perusahaan dapat saja menuntut karyawan tersebut karena perbuatan itu oleh UU termasuk perbuatan yang melawan hukum (onrechtsmatige daad), untuk hal ini dapat dilihat pasal 1356 KUH Perdata

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Analisis Asas Legalitas

untuk mengunjungi "Analisis Asas Legalitas" klik link berikut http://catatantugashukum.blogspot.com/2013/06/analisis-asas-legalitas.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MATERI HUKUM DAN PERADILAN HAM III

untuk MATERI HUKUM DAN PERADILAN HAM III kunjungi http://catatantugashukum.blogspot.com/2014/01/materi-hukum-dan-peradilan-ham-iii.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS